Mozaik Islam
Menjaga Akidah Islam dan Menghargai Kebhinekaan demi Masyarakat yang Harmonis dan Sejahtera dalam Bingkai NKRIMengapa Penetapan 1 Syawal Berbeda?
Assalamu alaikum wr. wb,
Pak Ustadz, saya sbg orang awam binggung karena di sekitar tempat tinggal saya mayoritas orang Muhammadiyah. Otomatis lebaran tahun ini beda lagi, kita masih puasa tetangga sebelah sudah berlebaran. Bagaimana menurut pak Ustadz ?
Kalau bisa tahu, tahun kemarin pak Ustadz ikut yg mana? Terimah kasih atas jawabanya mohon maaf jika ada kata yg tdk memuaskan.
Jawaban
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabrakatuh
Perbedaan dalam menetapkan hari jatuhnya lebaran memang sudah bisa diprediksi. Kejadian itu sudah berlangsung sejak lama & akan selalu terus berulang setiap tahun.
Penyebab Perbedaan jatuhnya Hari Raya .
Penyebab perbedaan penetapan karena ada beberapa dalil yg berbeda, atau satu dalil namun ditafsirkan secara berbeda. Sehingga umat mengenal setidaknya 2 sistem, yaitu rukyatul-hilal & hisab.
Kedua metode ini seringkali melahirkan hasil yg berbeda dalam penetapan tanggal. Tapi yg lbh menarik, bahkan meski sama-sama menggunakan rukyatul-hilal, hasilnya belum tentu sama. Demikian juga, meski sama-sama pakai hisab, hasil seringkali juga berbeda.
Perbedaan Antar Negara.
Sudah sering terjadi bahwa umat Islam yg hidup di bawah berbagai macam pemerintahan, seringkali berbeda dalam penetapan awal Ramadhan & Syawwal.
Kewajaran itu lantaran masing-masing pemerintahan punya hak utk menetapkannya, karena mereka memang berdiri sendiri & tdk saling terikat. Sehingga amat wajar independensi otoritas penetapan jadwal puasa pun dilakukan sendiri-sendiri oleh masing-masing pemerintahan.
Maka wajar bila Mesir & Saudi Arabia saling berbeda dalam menetapkan jadwal puasa & lebaran.
Tetapi di dalam negeri masing-masing, umat Islam umumnya kompak. Sesama rakyat Mesir tdk pernah terjadi perbedaan. Demikian juga, sesama rakyat Saudi tdk pernah terjadi perbedaan.
Khusus Cuma di Indonesia.
Tetapi khusus utk rakyat Indonesia, rupanya masing-masing elemen umat teramat kreatif. Cerita orang lebaran berbeda-beda tanggalnya memang hanya terjadi di dalam masyarakat kita saja. Entah apa sebabnya, mungkin karena kebanyakan jumlah rakyatnya, atau kebanyakan ormasnya, atau mungkin juga kelebihan pe-de nya.
Yang jelas, kita selalu menyaksikan masing-masing ormas seolah merasa punya hak otoritas menetapkan tanggal 1 Ramadhan & tanggal 1 Syawal. Setidaknya utk konstituen mereka sendiri. Sesuatu yg tdk pernah terjadi di berbagai negeri Islam lainnya. Di sana, urusan penetapan seperti itu 100% diserahkan pemerintah. Masing-masing ormas tdk pernah merasa berhak utk menetapkan sendiri.
Jadi cerita seperti ini memang lbh khas Indonesia.
Dan lbh lucu lagi, bukan hanya ormas yg sering tdk kompak dgn pemerintah, tetapi di dalam satu ormas pun terkadang sering terjadi tdk kompak juga. Misalnya, ketika DPP ormas tertentu mengatakan A, belum tentu DPW atau DPD & DPC-nya bilang A. Masing-masing sturktur ke bawah kadang-kadang masih merasa lbh pintar utk menetapkan sendiri jadwal puasa.
Selain itu, juga ada ormas yg selalu menginduk ke jadwal puasa di Saudi Arabia. Mau lebaran hari apa pun, pokoknya ikut Saudi.
Bahkan mungkin karena saking semangat utk ijtihad, ada ormas yg sampai menasehati pemerintah utk tdk usah mencampuri masalah ini.
Semua pemandangan ini hanya terjadi di Indonesia, ya, sangat khas Indonesia. Dan ceritanya dari zaman nenek moyang sampai abad internet sekarang ini masih yg itu-itu juga. Pokoknya, Indonesia banget deh.
Jadi Kita Ikut Siapa?
Sebenarnya apa pun yg dikatakan baik oleh NU, Muhammadiyah, Persis & lainnya, semua tdk lepas dari ijtihad. Karena tdk ada nash baik Quran maupun hadits yg menyebutkan bahwa lebaran tahun 1428 hijriyah jatuh tanggal sekian.
Sebagai muslim, kita wajib menghormati berbagai ijtihad yg dilakukan oleh para ahlinya. Lepas dari apakah kita setuju dgn hasil ijtihad itu atau tidak.
Dan karena kita bukan ahli ru’yat, juga bukan ahli hisab, kita juga tdk punya ilmu apa-apa tentang masalah seperti itu, maka yg bisa kita lakukan adl bertaqlid atau setidaknya ber-ittiba’ kpd ahlinya.
Kalau para ahlinya berbeda pendapat, 100% kita punya hak utk memilih. Tidak ada satu pun ulama yg berhak utk memaksakan kehendaknya, apalagi menyalahkan pendapat yg tdk sesuai dgn hasil ijtihadnya. Toh kalau ijtihad itu benar, ulama itu akan dpt pahala. Sebaliknya kalau salah, beliau tdk berdosa, bahkan tetap dpt satu pahala.
Berpuasa Bersama Umat Islam
Salah satu hadits menyebutkan sbg berikut:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ، وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
Waktu shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adl pd saat kalian berbuka, & (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.
Hadits ini rasanya agak cocok buat keadaan kita yg bukan ulama, bukan ahli ru’yat & juga bukan ahli hisab. Kita adl para muqaalid & muttabi’. Maka jadwal puasa kita mengikuti umat Islam umumnya di sesuatu negeri.
Kalau di Indonesia umumnya atau mayoritasnya lebaran hari Sabtu, ya kita tdk salah kalau ikut lebaran hari Sabtu, meski tetap menghormati mereka yg lebaran hari Jumat. Sebab lebaran di hari dimana umumnya umat Islam lebaran adl hal paling mudah & juga ada dalilnya serta tdk membebani.
Tapi kalau ternyata 50% ulama mengatakan lebaran jatuh hari Jumat & 50% lagi mengatakan hari Sabtu, lalu mana yg kita pilih?
Jawabnya bahwa dalam hal ini syariah Islam memberikan kewenangan & hak utk menengahi perbedaan pendapat di kalangan umat. Sebagaimana pemerintah berhak utk menjadi wali atas wanita yg tdk punya wali utk menikah.
Mulai Berpuasa Bersama Pemerintah
Jadi pemerintah resmi yg berkuasa diberikan wewenang & otoritas utk menetapkan jatuhnya puasa & lebaran, di tengah perbedaan pendapat dari para ahli ilmu, ahli hisab & ahli falak.
Kewenangan seperti ini bukan tanpa dalil, justru kita menemukan begitu byk dalil yg menegaskan hal itu. Bahkan para ulama sejak dulu telah menyatakan bahwa urusan seperti ini serahkan saja kpd pemerintah yg sah. Kalau pun pemerintah itu salah secara sengaja & berbohong misalnya, maka dosanya kan mereka yg tanggung.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Seseorang (hendaknya) berpuasa bersama penguasa & jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.”
Apa yg dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal kemudian diamini oleh para ulama hingga sekarang ini. Salah satunya adl arahan & petunjuk dari Al-‘Allamah Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah.
Beliau berkata, “Setiap muslim hendaknya bershaum & berbuka bersama (pemerintah) negerinya masing-masing.”
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Penulis: Ahmad Sarwat, Lc