Mozaik Islam
Menjaga Akidah Islam dan Menghargai Kebhinekaan demi Masyarakat yang Harmonis dan Sejahtera dalam Bingkai NKRIKebawajiban Memberi Nafkah kepada Istri dan Anak
Memberi makan merupakan istilah lain dari memberi nafkah. Memberi nafkah ini telah diwajibkan ketika sang suami akan melaksanakan ‘aqad nikah, yaitu dalam bentuk mahar, seperti yg tersurat dalam Al-Qur’an, surat al-Baqarah ayat 233.
Allah berfirman:
“Artinya : …Dan kewajiban ayah menanggung nafkah & pakaian mereka dgn cara yg patut. Seseorang tdk dibebani lbh dari kesanggupannya.” [Al-Baqarah : 233]
Bahkan ketika terjadi perceraian, suami masih berkewajiban memberikan nafkah kpd isterinya selama masih dalam masa ‘iddahnya & nafkah utk mengurus anak-anaknya. Barangsiapa yg hidupnya pas-pasan, dia wajib memberikan nafkah menurut kemampuannya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Artinya : …Dan orang yg terbatas rizkinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yg diberikan Allah kepadanya. Allah tdk membebani seseorang melainkan (sesuai) dgn apa yg diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” [Ath-Thalaq : 7]
Ayat yg mulia ini menunjukkan kewajiban seseorang utk memberikan nafkah, meskipun ia dalam keadaan serba kekurangan, tentunya hal ini disesuaikan dgn kadar rizki yg telah Allah berikan kpd dirinya.
Berdasarkan ayat ini pula, memberikan nafkah kpd isteri hukumnya adl wajib. Sehingga dalam mencari nafkah, seseorang tdk boleh bermalas-malasan & tdk boleh menggantungkan hidupnya kpd orang lain serta tdk boleh minta-minta kpd orang lain utk memberikan nafkah kpd isteri & anaknya. Sebagai kepala rumah tangga, seorang suami harus memiliki usaha & bekerja dgn sungguh-sungguh sesuai kemampuannya.
Perbuatan meminta-minta menurut Islam adl perbuatan yg sangat hina & tercela. Burung saja, yg diciptakan oleh Allah ‘Azza wa Jalla tdk sesempurna manusia yg dilengkapi dgn kemampuan berpikir & tenaga yg jauh lbh besar, tdk pernah meminta-minta dalam mencari makan & memenuhi kebutuhannya. Dia terbang pd pagi hari dalam keadaan perutnya kosong, & kembali ke sarangnya pd sore hari dgn perut yg telah kenyang. Demikianlah yg dilakukannya setiap hari, meski hanya berbekal dgn sayap & paruhnya.
Dalam mencari rizki, seseorang hendaknya berikhtiar (usaha) terlebih dahulu, kemudian bertawakkal (menggantungkan harapan) hanya kpd Allah, sebagaimana yg diperintahkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Artinya : Seandainya kalian bertawakkal kpd Allah dgn sungguh-sungguh, maka sungguh kalian akan diberikan rizki oleh Allah sebagaimana Dia memberikan kpd burung. Pagi hari burung itu keluar dalam keadaan kosong perutnya, kemudian pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.”[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2344), Ahmad (I/30), Ibnu Majah (no. 4164), at-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dishahihkan juga oleh al-Hakim (IV/318), dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu.]
Seorang suami juga harus memperhatikan rizki-rizki yg halal & thayyibah, utk diberikan kpd isteri & anaknya. Bukan dgn cara-cara yg tercela & dilarang oleh syari’at Islam yg mulia. Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tdk akan menerima dari sesuatu yg haram. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Sesungguhnya Allah itu baik & tdk menerima kecuali yg baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kpd kaum mukminin seperti yg Dia perintahkan kpd para Rasul. Maka, Allah berfirman: ’Hai Rasul-Rasul, makanlah dari makanan yg baik-baik, & kerjakanlah amal yg shalih.” [Al-Mukminuun : 51]
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Artinya : Hai orang-orang yg beriman, makanlah di antara rizki yg baik-baik yg Kami berikan kpd kalian.” [Al-Baqarah : 172]
Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan orang yg lama bepergian; rambutnya kusut; berdebu, & menengadahkan kedua tangannya ke langit, ‘Yaa Rabb-ku, yaa Rabb-ku,’ padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, & diberi kecukupan dgn yg haram, bagaimana do’anya akan dikabulkan?”
Nafkah yg diberikan sang suami kpd isterinya, lbh besar nilainya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla diban-dingkan dgn harta yg diinfaqkan (meskipun) di jalan Allah ‘Azza wa Jalla atau diinfaqkan kpd orang miskin atau utk memerdekakan seorang hamba.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Uang yg engkau infaqkan di jalan Allah, uang yg engkau infaqkan utk memerdekakan seorang hamba (budak), uang yg engkau infaqkan utk orang miskin, & uang yg engkau infaqkan utk keluargamu, maka yg lbh besar ganjarannya adl uang yg engkau infaqkan kpd keluargamu.”
Setiap yg dinafkahkan oleh seorang suami ke-pada isterinya akan diberikan ganjaran oleh Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Artinya : …Dan sesungguhnya, tidaklah engkau menafkahkan sesuatu dgn niat utk mencari wajah Allah, melainkan engkau diberi pahala dengannya sampai apa yg engkau berikan ke mulut isterimu akan mendapat ganjaran.”[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1295) & Muslim (no. 1628), dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallaahu ‘anhu.]
Seorang suami yg tdk memberikan nafkah kpd isteri & anak-anaknya, maka ia berdosa. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yg wajib ia beri makan (nafkah).” [Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1692), dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Sunan Abi Dawud (V/376, no. 1485).]
Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas